Mari Lestarikan Budaya. Berbangga menjadi warga Negara Indonesia yang kekayaan Budayanya Tidak ternilai dengan apa-pun.

Jumat, 29 Januari 2010

Pesona Topeng Lampung

Ini tentang Sekura :

Meskipun sinar matahari cukup terik hari itu (Minggu 28 Agustus 2005), Lapangan Saburai Bandar Lampung , sangat ramai oleh pengunjung yang antusias untuk menyaksikan Pesta Topeng Seribu Wajah yang pertama kali digelar di Bandar Lampung. Pesta ini adalah salah satu dari serangkaian acara Festival Krakatau XV. Beratus-ratus orang yang berasal dari sepuluh Kabupaten /kota di Propinsi Lampung turut berpartisipasi memeriahkan pesta tersebut. Mereka mengenakan aneka topeng dan atribut serta bergoyang dan menari sesukanya. Topeng yang digunakan menggambarkan berbagai mimik wajah, ada yang sedih, marah, senyum hingga tertawa. Turut dalam parade tersebut dua ekor gajah, kendaraan bendi dan becak yang dihias warna-warni. Aksi mereka membuat decak kagum para penonton baik yang berasal dari Lampung sendiri maupun beberapa turis mancanegara.

Sejak kapan masyarakat Lampung mengenal topeng tidak diketahui secara pasti. Informasi yang didapat sampai saat ini adalah bahwa topeng Lampung adalah salah satu produk seni budaya Lampung yang dapat dilihat pada pesta Sekura (Sekuraan), Drama Tari Tupping, Parade Topeng, dan yang baru-baru ini Pesta Topeng Seribu Wajah.

Ada dua jenis topeng Lampung, yaitu tupping dan sekura. Tupping berkembang di daerah Lampung Selatan seperti : masyarakat Kuripan, Canti, dan Kesugihan , sedangkan sekura terdapat di wilayah Lampung Barat seperti: Belalau, Balik Bukit, Batubrak, Sukau, Kenali, dan Liwa.

Sekura dan Sekuraan:
Pesta Sekura (sekuraan) adalah suatu pesta rakyat yang diadakan setiap awal bulan Syawal oleh masyarakat Lampung Barat dan sekitarnya . Sakura ditampilkan sebagai tarian topeng pada Pesta Sakura yang berlangsung selama satu minggu. Pesta ini merupakan pesta rakyat yang diselenggarakan dalam rangkaian Idul Fitri untuk mengungkapkan rasa syukur, sukacita dan perenungan terhadap sikap dan tingkah laku. . Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam sekura terdiri dari , sekura anak, sekura tuha, sekura kesatria, sekura cacat, sakura raksasa, dan sekura binatang. Namun dari enam jenis penokohan tersebut sekura dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama disebut sekura kecah yang artinya sekura bersih. Sekura ini sering disebut juga sekura betik atau sekura helau. Yang kedua disebut sekura kamak yang artinya sekura kotor atau sekura jahat.

Sesuai dengan namanya, sekura kecah mengenakan kostum yang bersih dan rapi. Sekura kecah khusus diperankan oleh menghanai (laki-laki yang belum beristri). Sekura ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta. Mereka berkeliling pekon (dusun) untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaan. Selain itu sekura ini juga berfungsi sebagai pengawal sanak saudara yang menyaksikan atraksi topeng. Mereka membawa senjata pusaka-kini simbolis saja , sebagai symbol menjaga gadis atau muli bathin (anak pangeran) yang menyaksikan pesta topeng agar terhindar dari sekura kamak yang jahat. Mereka juga menunjukkan kemewahan dan kekayaan materi yang dapat terlihat dari selendang yang dikenakannya. Secara simbolis banyaknya selendang mengartikan sekura itu adalah meghanai yang baik.


Sekura kamak berarti sekura kotor atau sekura jahat dikarenakan mereka mengenakan pakaian dan topeng kotor. Busana yang dikenakan tidak hanya pakaian sehari-hari yang digunakan dalam menggarap kebun, tetapi dapat juga dari segala jenis tumbuhan yang diikatkan di tubuh. Tingkahnya mengundang tawa penonton. Sekura kamak tidak terbatas meghanai , tetapi bisa juga dibawakan oleh pria yang sudah beristri. Mereka berfungsi sebagai penghibur dalam sekuraan. Kadang mereka mengganggu pengunjung yang menonton sekuraan. Sekuraan ini berkeliling kampung untuk kemudian singgah ke rumah-rumah penduduk. Masyarakat yang dikunjungi wajib menyediakan makanan dan minuman yang diperuntukkan sekura yang datang ke rumahnya. Dalam pesta sekuraan ini, kadang ditampilkan atraksi pencak silat (silek), nyambai ( menyanyikan bait-bait pantun yang diiringi dengan tetabuhan terbangan (rebana) satu. Pantun ini biasanya ditujukan pada muli (gadis).

Drama Tari Tupping adalah suatu pertunjukan tari yang menggambarkan patriotisme keprajuritan dari pasukan tempur dan pengawal rahasia Radin Inten I (1751-1828), Radin Imba II (1828 -1834) dan Radin Inten II (1834 - 1856) di daerah Kalianda Lampung Selatan. Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam Drama Tari Tupping terdiri dari : tokoh kesatria, tokoh kesatria kasar, tokoh kesatria sakti, tokoh kesatria putrid, tokoh pelawak, dan tokoh bijak dan sakti. Tari tupping juga dilakukan pada rangkaian pesta perkawinan sebagai symbol keselamatan keseluruhan upacara perkawinan atau pada acara penyambutan tamu besar.

Lain sekura lain juga tupping. Jumlah sekura tidak terbatas, bisa sedikit dan bisa banyakt. Kalau tupping, topeng yang berasal dari Lampung Selatan tepatnya di Canti dan Kuripan jumlahnya dua belas. Tidak bisa lebih dan tidak bisa kurang, dan tidak bisa ditiru. Topeng ini diyakini memilki kekuatan gaib. Tidak semua bisa memakai topeng ini, baik topeng Canti maupun topeng Kuripan. Meskipun sekarang sudah jadi bagian kesenian, berbagai ritual khusus harus dilakukan sebelum mengenakan topeng-topeng ini.


Topeng Kuripan dan Topeng Canti adalah sebutan topeng yang ada di masyarakat Marga Ratu yang tinggal di daerah Kuripan dan Canti. Topeng Kuripan hanya bisa dikenakan oleh keturunan 12 punggawa yang antara lain berada di Desa Tataan, Taman Baru dan Kuripan. Di Canti topeng mereka hanya bisa dikenakan oleh lelaki yang berumur 20 tahun. Karena jumlahnya harus dua belas, topeng ini sekali keluar harus 12. Topeng-topeng ini tidak bisa ditiru. Kalau ada warga yang ingin memakai, mereka bisa minta izin pada Dalom Marga Ratu. Kelalaian dalam mentaati aturan-aturan ini akan mengakibatkan kejadian yang tidak diinginkan pada yang memakainya. Kedua topeng ini, baik Topeng Kuripan dan Topeng Canti diyakini menyimpan beragam muatan seperti histories, simbol budaya, nilai ritual, dan struktur social politik.

Parade Topeng adalah suatu arak-arakan para tupping dan sekura yang menyusuri rute keliling desa dengan aneka atraksi. Pada parade ini para penari tupping melukiskan kewaspadaan untuk menjaga keselamatan kedua mempelai dan rombongannya pada saat menuju tempat perkawinan. Sedangkan para pesekura sambil berparade mereka mendatangi rumah penduduk meminta konsumsi bersukacita menuju arena pesta.
Jadi dapat dikatakan topeng Lampung mempunyai nilai simbolik perwatakan manusia sesuai dengan ajaran moral, dan etika social budaya masyarakat pedesaan waktu itu.

Sumber http://www.indonesiamedia.com

Geliat Seni Topeng (Sakura) Lampung


SEBENARNYA Lampung kaya dengan karya seni dan budaya. Pesta sekura (sekuraan), misalnya yang dilaksanakan masyarakat Lampung Barat sebagai pesta rakyat setiap awal bulan Syawal.

Dalam sekuraan, terdapat sekura. Bedanya, sekuraan meliputi perayaan dengan tahap-tahapannya. Sedangkan sekura itu orang yang berusaha menutupi wajah dan badannya sedemikian rupa agar tidak dikenali dalam tradisi sekuraan.

Beberapa wilayah di Lampung Barat seperti: Belalau, Balik Bukit, Batubrak, Sukau, Kenali, dan Liwa masih menghidupkan tradisi sekuraan ini. Bahkan, di Festival Krakatau juga digelar sekuraan ini dalam acara Apresiasi Topeng Seribu Wajah, juga pada Festival Teluk Stabas (FTS) 2007.

Dalam dua tahun terakhir ini, tidak hanya kontingen Lampung Barat yang mempersembahkan tarian topeng, tapi juga dari Tanggamus dan Bandar Lampung.

Pesta sekura berupa tarian topeng ini berlangsung selama satu pekan. Pesta ini diselenggarakan sebagai ungkapan rasa syukur, sukacita, dan renungan terhadap sikap dan tingkah laku. Biasanya sekura dilaksanakan bertepatan dengan Hari Raya Idulfitri. Pesta ini dilaksanakan bergiliran dari satu kampung ke kampung lain.

Dilihat dari segi penokohannya topeng dalam sekura terdiri dari sekura anak, sekura tuha, sekura kesatria, sekura cacat, sakura raksasa, dan sekura binatang. Namun dari enam jenis penokohan tersebut sekura dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama disebut sekura betik yang artinya sekura bersih. Yang kedua disebut sekura kamak yang artinya sekura kotor.

Sesuai dengan namanya, sekura betik mengenakan kostum yang bersih dan rapi. Sekura betik khusus diperankan menghanai (laki-laki yang belum beristri). Sekura ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta.

Mereka berkeliling pekon (dusun) untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaan. Selain itu sekura ini juga berfungsi sebagai pengawal sanak saudara yang menyaksikan atraksi topeng. Mereka membawa senjata pusaka sebagai simbol menjaga gadis atau muli bathin (anak pangeran) yang menyaksikan pesta topeng agar terhindar dari sekura kamak yang jahat.

Mereka juga menunjukkan kemewahan dan kekayaan materi yang dapat terlihat dari selendang yang dikenakannya. Secara simbolis banyaknya selendang mengartikan sekura itu adalah meghanai yang baik.

Versi pertama menyebutkan sekuraan sudah ada sejak zaman Hindu. Topeng-topeng yang dikenakan merupakan penjelmaan orang-orang yang dikutuk dewa karena berbuat tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji yang dimaksud adalah tidak mengakui adanya dewa yang patut disembah. Akibatnya, rupa mereka menjadi buruk.

Versi kedua menyebutkan sekuraan berasal dan bermula pada zaman Islam. Alasannya, pelaksanaan acara ini diadakan untuk memeriahkan dan menyambut Hari Raya Idulfitri dan umat yang merayakan Idulfitri adalah umat Islam.

Islam menyebar di Lampung Barat sekitar abad ke-13. Dengan demikian, timbul anggapan sekuraan diadakan pertama kali sekitar abad ke-13.

Pendatang yang tidak menjadi sekura dalam tradisi sekuraan pada Hari Raya Idulfitri, sekura khususnya kaum wanita dan anak-anak langsung singgah ke rumah kerabatnya yang disebut dengan tumpak'an. Setibanya di sana mereka disambut tuan rumah dengan senyum ramah dan disambut pula dengan jamuan makan kue lebaran.

Pendatang yang ingin menjadi sekura biasanya hanya singgah sebentar sebagai pemberitahuan kepada famili bahwa dia hadir dan datang dalam rangka memeriahkan acara.

Sekelompok sekura terlihat apabila calon peserta berganti kostum dan mengenakan topeng serta berbagai atribut lain. Acara sekuraan ini mulai sekitar pukul 09.00 atau bersamaan dengan berdatangannya penduduk dari berbagai pekon.

Sekelompok sekura pertama kali muncul adalah sekura yang bertindak sebagai inisiator penyelenggara. Kemudian disusul kelompok-kelompok sekura lain. Jarak antarkelompok 4--5 meter.

Pawai keliling kelompok-kelompok sekura inilah yang disebut sekuraan. Para sekura berkeliling mengikuti rute yang ditentukan, mereka berkelompok-kelompok sesuai dengan jenisnya. Sekura kecah bergabung sesama sekura kecah dan sekura kamak bergabung sesama sekura kamak.

Penonton mulai bermunculan (baik yang baru datang maupun yang lama berada di rumah tumpak'an-nya) jika sekura telah pawai keliling. Wanita dan anak-anak duduk-duduk di beranda rumah milik warga menyaksikan sekuraan disertai senda gurau, sedangkan kaum pria turun ke jalan meskipun hanya sekadar menonton, tidak menjadi sekura.

Para sekura awalnya hanya sekadar berkeliling mengikuti rute dan melihat-lihat saja. Mereka beraksi dan berusaha mencari perhatian apabila melihat banyak penonton yang menyaksikan mereka.

Sekura mulai melakukan hal-hal aneh seperti berjingkrak-jingkrak tak tentu arah atau menyanyi melantunkan lagu yang dibuat sekehendak hati si pelantunnya. Ada sekura yang bergerak-gerak seolah-olah menari, tetapi dibuat-buat sehingga memperlihatkan kelucuannya.


Ada juga sekura yang seolah-olah hamil dan mengikuti/mencontoh gerakan ibu hamil, ada pula sekura yang bertingkah layaknya wanita dan dibuat-buat seanggun mungkin dan masih banyak lagi tingkah sekura lainnya. Semua sekura mencuri perhatian penonton dengan tingkahnya. RIN/FM/M-1

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2009
Diambil dari http://ulun.lampunggech.com/2009/02/desain-geliat-seni-topeng-lampung.html

Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung


Bahan Dasar Tapis Lampung

Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam.

Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.

Bahan-bahan baku itu antara lain :

Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang. Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera. Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang. Akar serai wangi untuk pengawet benang. Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur. Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah. Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam. Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat. Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru. Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.

Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran. Peralatan Tenun kain Tapis

Proses pembuatan tenun kain tapis menggunakn peralatan-peralatan sebagai berikut :

Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun. Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian alat-alat : Terikan (alat menggulung benang) Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh) Belida (alat untuk merapatkan benang) Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang) Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan) Guyun (alat untuk mengatur benang) Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun) Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang) Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan) Amben (alat penahan punggung penenun) Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.

Jenis Tapis Lampung Menurut Pemakainnya

Tapis Jung Sarat

Dipakai oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat. Dapat juga dipakai oleh kelompok isteri kerabat yang lebih tua yang menghadiri upacara mengambil gelar, pengantin serta muli cangget (gadis penari) pada upacara adat. Tapis Raja Tunggal

Dipakai oleh isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara perkawinan adat, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara dipakai oleh gadis-gadis dalam menghadiri upacara adat.

Tapis Raja Medal

Dipakai oleh kelompok isteri kerabat paling tua (tuho penyimbang) pada upacara adat seperti : mengawinkan anak, pengambilan gelar pangeran dan sutan.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini digunakan oleh pengantin wanita pada upacara perkawinan adat.

Tapis Laut Andak

Dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada acara adat cangget. Dipakai juga oleh Anak Benulung (isteri adik) sebagai pengiring pada upacara pengambilan gelar sutan serta dipakai juga oleh menantu perempuan pada acara pengambilan gelar sutan.

Tapis Balak

Dipakai oleh kelompok adik perempuan dan kelompok isteri anak seorang yang sedang mengambil gelar pangeran pada upacara pengambilan gelar atau pada upacara mengawinkan anak. Tapis ini dapat juga dipakai oleh muli cangget (gadis penari) pada upacara adat.

Tapis Silung

Dipakai oleh kelompok orang tua yang tergolong kerabat dekat pada upacara adat seperti mengawinkan anak, pengambilan gelar, khitanan dan lain-lain. Dapat juga dipakai pada saat pengarakan pengantin.

Tapis Laut Linau

Dipakai oleh kerabat isteri yang tergolong kerabat jauh dalam menghadiri upacara adat. Dipakai juga oleh para gadis pengiring pengantin pada upacara turun mandi pengantin dan mengambil gelar pangeran serta dikenakan pula oleh gadis penari (muli cangget). Tapis Pucuk Rebung

Tapis ini dipakai oleh kelompok ibu-ibu/para isteri untuk menghadiri upacara adat.

Di daerah Menggala tapis ini disebut juga tapis balak, dipakai oleh wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Cucuk Andak

Dipakai oleh kelompok isteri keluarga penyimbang (kepala adat/suku) yang sudah bergelar sutan dalam menghadiri upacara perkawinan, pengambilan gelar adat.

Di daerah Lampung Utara tapis ini dipakai oleh pengantin wanita dalam upacara perkawinan adat.

Di daerah Abung Lampung Utara tapis ini dipakai oleh ibu-ibu pengiring pengantin pada upacara adat perkawinan. Tapis Limar Sekebar

Tapis ini dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat serta dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin dalam upacara adat.

Tapis Cucuk Pinggir

Dipakai oleh kelompok isteri dalam menghadiri pesta adat dan dipakai juga oleh gadis pengiring pengantin pada upacara perkawinan adat.

Tapis Tuho

Tapis ini dipakai oleh seorang isteri yang suaminya sedang mengambil gelar sutan. Dipakai juga oleh kelompok orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar sutan serta dipakai pula oleh isteri sutan dalam menghadiri upacara pengambilan gelar kerabatnya yang dekat.

Tapis Agheng/Areng

Dipakai oleh kelompok isteri yang sudah mendapat gelar sutan (suaminya) pada upacara pengarakan naik pepadun/pengambilan gelar dan dipakai pula oleh pengantin sebagai pakaian sehari-hari. Tapis Inuh

Kain tapis ini umumnya dipakai pada saat menghadiri upacara-upacara adat. Tapis ini berasal dari daerah Krui, Lampung Barat.

Tapis Dewosano

Di daerah Menggala dan Kota Bumi, kain tapis ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat menghadiri upacara adat.

Tapis Kaca

Tapis ini dipakai oleh wanita-wanita dalam menghadiri upacara adat. Bisa juga dipakai oleh wanita pengiring pengantin pada upacara adat. Tapis ini di daerah Pardasuka Lampung Selatan dipakai oleh laki-laki pada saat upacara adat.

Tapis Bintang

Tapis Bintang ini dipakai oleh pengantin wanita pada saat upacara adat.

Tapis Bidak Cukkil

Model kain Tapis ini dipakai oleh laki-laki pada saat menghadiri upacara-upacara adat.

Tapis Bintang Perak

Tapis ini dapat dipakai pada upacara-upacara adat dan berasal dari daerah Menggala, Lampung Utara.


Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Kain_tapis


Jenis Tapis Lampung Menurut Asal pemakainya

Beberapa jenis kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

Tapis Lampung dari Pesisir :

  • Tapis Inuh
  • Tapis Cucuk Andak
  • Tapis Semaka
  • Tapis Kuning
  • Tapis Cukkil
  • Tapis Jinggu

Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :

  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Balak
  • Tapis Laut Linau
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Cucuk Handak
  • Tapis Tuho
  • Tapis Sasap
  • Tapis Lawok Silung
  • Tapis Lawok Handak

Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :

  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Balak
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Halom/Gabo
  • Tapis Kaca
  • Tapis Kuning
  • Tapis Lawok Halom
  • Tapis Tuha
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:

  • Tapis Dewosano
  • Tapis Limar Sekebar
  • Tapis Ratu Tulang Bawang
  • Tapis Bintang Perak
  • Tapis Limar Tunggal
  • Tapis Sasab
  • Tapis Kilap Turki
  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Kaco Mato di Lem
  • Tapis Kibang
  • Tapis Cukkil
  • Tapis Cucuk Sutero

Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :

  • Tapis Rajo Tunggal
  • Tapis Lawet Andak
  • Tapis Lawet Silung
  • Tapis Lawet Linau
  • Tapis Jung Sarat
  • Tapis Raja Medal
  • Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
  • Tapis Cucuk Andak
  • Tapis Balak
  • Tapis Pucuk Rebung
  • Tapis Cucuk Semako
  • Tapis Tuho
  • Tapis Cucuk Agheng
  • Tapis Gajah Mekhem
  • Tapis Sasap
  • Tapis Kuning
  • Tapis Kaco
  • Tapis Serdadu Baris

Rabu, 27 Januari 2010

Manuskrip Kitab 'Kuntara Raja Niti', Khazanah yang Hampir Punah

oleh Susilowati*

KHAZANAH kebudayaan Lampung bagaikan mutiara terpendam di kampung halamannya. Setiap menggali, makin tertantang untuk menemukan mutiara terindah yang masih tersembunyi. Mulai dari adat istiadat, kesenian, sejarah, sampai kitab adat yang sangat banyak jumlahnya. Salah satunya adalah kitab Kuntara Raja Niti.

Kitab Kuntara Raja Niti merupakan kitab adat yang menjadi rujukan bagi adat istiadat orang Lampung. Kitab ini digunakan hampir tiap-tiap subsuku Lampung, baik Pepadun maupun Pesisir. Di masing-masing kebuaian (keturunan) dari subsuku tersebut pun mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab rujukan adat Lampung.

Sayangnya, tidak semua punyimbang (pemangku adat) menyimpan manuskrip kitab tersebut. Apalagi masyarakat Lampung kebanyakan. Karena kekayaan peninggalan adat, baik yang berupa benda maupun tulisan biasanya berada di kediaman pemangku adat dari setiap kebuaian. Jika di tempat pemangku adat tidak ada, kecil kemungkinan akan didapat di tempat lain.

Sebagian para punyimbang di daerah Kotaagung mengakui kalau yang dijadikan rujukan adat istiadat mereka adalah kitab Kuntara Raja Niti, tapi mereka tidak memiliki manuskripnya. Konon manuskrip kitab tersebut telah terbakar di daerah muasal mereka, yaitu Liwa. Mereka menerima peraturan adat istiadat secara turun temurun dari pemangku adat dan tua-tua sebelumnya. Mereka menurunkan kepada generasi berikutnya pun secara lisan pula.

Sedangkan untuk daerah Kurungan Nyawa, adat istiadat mereka, baik tata cara kehidupan sehari-hari maupun acara seremonial merujuk pada kitab Kuntara Raja Niti yang sudah mengalami banyak revisi sesuai dengan tuntutan zaman. Revisi ini dilakukan oleh para pemangku adat demi keberlangsungan adat itu sendiri. Sehingga tidak menyusahkan masyarakat adat sebagai para pelaku adat. Kitab Kuntara Raja Niti yang ada di sana sudah berupa draf peraturan adat yang di ketik dan difotokopi yang sudah mengalami perubahan dan penyesuaian melalui musyawarah-musyawarah adat. Sedangkan manuskripnya tidak ada lagi.

Untuk daerah Krui yang mempunyai 16 marga, para punyimbang juga mengakui kalau Kuntara Raja Niti adalah kitab adat yang berlaku di sana. Tapi hingga kini para punyimbang pun tidak tahu keberadaannya. Adat istiadat yang dipakai selama ini ditularkan melalui lisan secara turun-temurun pula. Selain Kuntara Raja Niti, di Pesisir Krui juga adat istiadatnya berdasarkan Kitab Simbur Cahya yang dipakai masyarakat adat Sumatera bagian Selatan. Para punyimbang di Krui juga tidak tahu keberadaan kitab Simbur Cahya.

Lalu, daerah Pubian Telusuku, menggunakan kitab Ketaro Berajo Sako. Kitab tersebut dialihaksarakan sekaligus diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh H.A. Rifai Wahid (almarhum). Semasa hidupnya, penerjemah mengatakan kitab tersebut juga merujuk kepada Kuntara Raja Niti. Sedang manuskrip Kuntara Raja Niti bisa didapat di kediaman Hasan Basri (alm.), yang bergelar Raden Imba atau secara adat disebut Dalom Kusuma Ratu. Ia merupakan keturunan Ratu Darah Putih, asal muasal dari Raden Intan II. Kediamannya di Desa Kuripan, Penengahan, Lampung Selatan. Manuskrip tersebut bernama lengkap kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda. Ditulis sekitar abad ke-17--18. Ini bisa dilihat dari jenis tulisan yang digunakan.

Meski menjadi kitab rujukan adat, manuskrip ini sekarang lebih mirip dengan benda kuno yang dikeramatkan. Karena lebih banyak disimpan daripada di buka untuk dikaji. Kitab yang bersampul cokelat lusuh, tersimpan pada sebuah kotak khusus yang tidak sembarang orang bisa membukanya. Kitab itu terdiri dari dua bagian, bagian pertama ditulis dengan aksara Lampung gaya abad 17 (huruf-hurufnya lebih tidur dari aksara Lampung yang digunakan sekarang). Satu bagian lagi ditulis dengan huruf Arab gundul. Sedang bahasa yang digunakan pada seluruh teks adalah bahasa Jawa pertengahan dengan logat Banten. Masing-masing bagian memuat keseluruhan isi dari kitab Kuntara Raja Niti. Jadi, bagian yang satu dialihaksarakan pada bagian yang lain.

Isi manuskrip tersebut sebenarnya bukan hanya masalah tata cara adat secara seremonial, seperti upacara pernikahan, kematian dll. tapi kitab tersebut memuat peraturan-peraturan kemasyarakatan atau yang lebih tepat disebut perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam manuskrip tersebut, bahwa kitab Kuntara Raja Niti dan Jugul Muda adalah kitab undang-undang yang berlaku di tiga wilayah, yaitu Majapahit, Padjadjaran, dan Lampung. Sebagai kitab undang-undang atau dasar hukum kemasyarakatan, kitab tersebut ditulis dengan sistematis.

Setiap pembahasan diatur dalam bab-bab. Bab I (pada kitab terjemahan terdapat pada halaman 25), membahas tentang kiyas. Kiyas adalah hal yang mesti pada hukum, yang menyangkut tiga persoalan yaitu 1. Kuntara, 2. Raja Niti, 3. Jugul Muda. Selanjutnya pada kitab tersebut diterangkan, di antara raja-raja yang mempunyai tiga kebijakan itu adalah Prabu Sasmata dari Majapahit, Raja Pakuan Sandikara dari Pajajaran dan Raja Angklangkara dari Lampung.

Bab II memuat sejarah Raja Majapahit dan keagungannya. Dari bab ini bisa simpulkan kitab ini sangat terpengaruh dengan kebesaran Kerajaan Majapahit.

Bab III menyebutkan penjelasan tiga pokok hukum di antara prinsip-prinsip hukum yang ada dalam Kuntara Raja Niti, yaitu igama, dirgama dan karinah. Igama adalah yang dihukumkan, berarti sesuatu yang nyata dan kasatmata, bisa diakui keberadaan dan kebenarannya oleh semua orang. Dirgama itu hati nurani yaitu hukum-hukum yang ada pada kitab Kuntara Raja Niti sesuai dengan hati nurani. Karinah berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan. Dengan ketentuan tiga pokok hukum ini, diterangkan bahwa hukum-hukum yang ada bisa diogolongkan; hukum yang bersifat nyata itu kuntara, hukum yang sesuai dengan hati nurani disebut raja niti, sedangkan hukum yang yang berhubungan dengan sebab akibat suatu perbuatan disebut jugul muda.

Bab IV, V, dan VI membahas seputar kaidah hukum yang ada pada Bab III.
Produk hukum atau bab yang berisi tentang aturan-aturan secara detail termuat dari Bab VIII sampai Bab XVII.
Pada Bab VIII, diterangkan tentang hukum-hukum suami-istri.
Bab IX membahas tentang peraturan jual beli. Pada Bab X menerangkan tentang tanah.
Bab XI membahas tentang utang.
Bab XII tentang gadai dan upah.
Bab XIII berisi tata cara bertamu dan menginap.
Bab XIV berisi tentang larangan mengungkit-ungkit persoalan.
Bab XV membicarakan tentang perjanjian.

Bab XVI tentang talak, sedangkan Bab XVII membahas tentang utang piutang.

Kitab tersebut secara perinci mengatur tata cara kemasyarakatan yang termuat dalam pasal-pasal. Dalam pasal-pasal juga diatur tata cara berperahu dan menggunakan air, bahkan sampai tentang cara seorang laki-laki bertamu ke rumah perempuan ketika suaminya tidak ada di rumah. Tiap-tiap pasal tidak hanya memuat peraturan, juga hukuman yang melanggar peraturan tersebut.

Dari isi Kitab Kuntara Raja Niti dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lampung, sebelum adanya undang-undang Belanda, telah memiliki undang-undang yang secara lengkap mengatur kemasyarakat. Dan kitab Kuntara Raja Niti bukan hanya kitab yang mengatur acara seremonial seperti dipahami sebagian orang, melainkan kitab yang mengatur segala segi kehidupan.

Sumber http://ulun.lampunggech.com/2008/10/manuskrip-kitab-kuntara-raja-niti.html

Warisan Budaya: Naskah Kuno Lampung di Luar Negeri

Bandar Lampung, Kompas - Museum Lampung memastikan, sebanyak 400 naskah kuno Lampung tersimpan di museum-museum di luar negeri, sedangkan yang tersimpan di Museum Lampung hanya sekitar 34 buah. Hal itu menyulitkan bagi para peneliti yang hendak melakukan pengkajian tentang budaya atau kehidupan Lampung masa lalu.

Kepala Museum Lampung Pulung Swandaru, Selasa (21/10), mengatakan, dari inventarisasi koleksi dan dari penelusuran mengenai naskah-naskah kuno Lampung di luar negeri, diketahui naskah kuno Lampung tersimpan di 20 perpustakaan milik museum atau lembaga penelitian di luar negeri.

Beberapa negara yang diketahui menyimpan naskah kuno Lampung antara lain Belanda, Denmark, Inggris, dan Jerman. Di Belanda, naskah kuno Lampung tersimpan di lembaga penelitian Koninklijk Instituut Voor de Tropen, Amsterdam, dan di lembaga penelitian Koninklijk Instituut voor Taal di Leiden.

Di Denmark, naskah kuno Lampung diketahui disimpan di Museum Nasional atau Nationalmuseet. Di Inggris, naskah kuno Lampung disimpan di Brynmor Jones Library, University of Hull. Adapun di Jerman, naskah kuno Lampung tersimpan di Museum fur Volkerkunde, Berlin; Museum fur Volkerkunde, Leipzig; Bayerische Staatsbibliothek, Muenchen; dan di Linden Museum, Stuttgart. (HLN)

Sumber http://ulun.lampunggech.com/2008/10/warisan-budaya-naskah-kuno-lampung-di.html

Aksara Lampung

Bentuk tulisan yang masih berlaku di daerah Lampung pada dasarnya berasal dari aksara Pallawa (India Selatan) yang diperkirakan masuk ke Pulau Sumatera semasa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Macam-macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam aksara Arab, dengan menggunakan tanda-tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah, tapi tidak memakai tanda dammah di baris depan, melainkan menggunakan tanda di belakang. Masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri. Aksara Lampung hampir sama bentuknya dengan aksara Rencong (Aceh). Artinya, Had Lappung dipengaruhi dua unsur, yakni; aksara Pallawa dan huruf Arab.

Adapun Aksara Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka, dan tanda baca.

1 . Huruf Induk
Aksara Lampung disebut dengan istilah kaganga, ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan (pada Tabel 1 dibaca dari atas ke bawah). Huruf induk berjumlah 20 buah. Bentuk, nama, dan urutan huruf induk dikemukakan pada Tabel 1 dibawah ini.

Berikut adalah kelabai sughat bahasa lampung :


Untuk lebih lengkapnya lihat disini : http://supriliwa.wordpress.com/aksara-lampung/

Rumah Adat Lampung


Rumah adat pribumi Lampung bernama Sessat. Bentuk bangunan dimaksud berdasarkan keasliannya mempunyai ciri-ciri fisik berbentuk panggung bertiang yang bahan bangunannya sebagian besar terbuat dari kayu. Pada sisi bangunan tertentu ada yang memiliki ornamen yang khas. Umumnya sessat ini berupa rumah besar. Namun dewasa ini, rumah-rumah adat (sessat) di kampung-kampung penduduk asli Lampung sebagian besar dibangun tidak bertiang/depok (berlantai di tanah). Sedangkan fungsinya tetap sama.

Secara umum bentuk bangunan tempat tinggal di lingkungan masyarakat pribumi Kabupaten Lampung boleh di bilang cukup beraneka ragam. Keanekaragaman ini sesuai dengan pola serta seni pertukangan yang ada. Kanyataan itu dapat di lihat dari keragaman bentuk rumah (bahasa daerah: rumah= nuwo) yang didirikan oleh warga setempat sebagai tempat tinggal/berdiam, mengembangkan keturunan/berkeluarga dan sebagainya.

Bervariasinya bentuk serta ukuran rumah merupakan keanekaragaman bangunan yang dimiliki oleh penduduk setempat. Rumah pulalah banyak hal dapat dilakukan. Dari bentuk serta ukuran rumah juga taraf hidup bisa di lihat. Sedangkan ukurannya tidak tentu. Bisa saja tergantung dari luas tanah, kemampuan, kebutuhan dan lain-lain.

Sebagai tempat menetap, rumah sangat penting artinya. Namun nampaknya walaupun demikian, bentuk-bentuknya juga dari waktu ke waktu turut mengikuti perkembangan. Beberapa model bangunan rumah tempo dulu mempunyai karekteristik, yaitu berbentuk panggung bertiang.

Sebagai tempat tinggal, bentuk bangunan rumah masyarakat pribumi Lampung nampaknya memiliki persamaan dengan rumah-rumah di lingkungan penduduk asli lainnya di Provinsi Lampung. Tapi kini, nuwo-nuwo itu banyak sekali mengalami perubahan, mulai dari bentuk bangunan yang banyak berlantai tanah/depok (tak bertiang) hingga ornamen lainnya yang tak lagi bercirikan kultur Lampung. Peradaban telah pula membawa perubahan terhadap seni bangunan rumah dilingkungan pribumi masyarakat Lampung yang semakin majemuk.

Sumber http://kabarlampung.com/news-update/rumah-adat-lampung/

Contoh P4ntun / s4g4t4 / 4di-4di

Pantun/segata/adi-adi adalah salah satu jenis puisi tradisi Lampung yang lazim di kalangan etnik lampung digunakan dalam acara-acara yang sifatnya bersukaria, misalnya pengisi acara muda mudi nyambai, miyah damagh, kedayek.

Contoh pattun/segata:

Bukundang Kalah Sahing

Numpang pai nanom peghing
Titanom banjagh capa
Numpang pai ngulih-ulih
Jama kutti sai dija

Adek kesaka dija
Kuliak nambi dibbi
Adek gelagh ni sapa
Nyin mubangik ngughau ni

Budaghak dipa dinyak
Pullan tuha mak lagi
Bukundang dipa dinyak
Anak tuha mak lagi

Payu uy mulang pai uy
Dang saka ga di huma
Manuk disayang kenuy
Layau kimak tigaga

Nyilok silok di lawok
Lentera di balimbing
Najin ghalang kupenok
Kidang ghisok kubimbing

Kusassat ghelom selom
Asal putungga batu
Kusassat ghelom pedom
Asal putungga niku

Kughatopkon mak ghattop
Kayu dunggak pumatang
Pedom nyak sanga silop
Min pitu minjak miwang

Indani ghaddak minyak
Titanom di cenggighing
Musakik kik injuk nyak
Bukundang kalah sahing

Musaka ya gila wat
Ki temon ni peghhati
Ya gila sangon mawat
Niku masangkon budi

Ali-ali di jaghi kiri
Gelang di culuk kanan
Mahap sunyin di kutti
Ki salah dang sayahan

Terjemahannya:

Pacaran Kalah Saingan

Numpang menanam bambu
Ditanam dekat capa
Numpang bertanya
Kepada kalian di sini

Adik kapan kemari
Kulihat kemarin sore
Nama adik siapa
Agar enak memanggilnya

Berladang dimana aku
Hutan tua tiada lagi
Pacaran dengan siapa aku
Anak tua tiada lagi

Ya uy pulang dulu uy
Jangan lama-lama di ladang
Ayam disayang elang
Kacau kalau tak dicegah

Melihat-lihat di laut
Lentera di balimbing
Walau jarang kulihat
Tapi sering kuucap

Kucari ke dasar gelap
Asal bersua batu
Kucari hingga ke tidur
Asal bersua denganmu

Kurebahkan tak rebah
Kayu di ujung pematang
Sejenak aku tertidur
Tujuh kali terbangun menangis

Layaknya ghaddak minyak*
Ditanam di lereng bukit
Betapa derita kurasakan
Pacaran kalah saingan

Sudah lama sebenanya ada
Kalau memang lebih perhatian
Ya memang tidak
Kau menanam budi

Cincin di jari kiri
Gelang di kaki kanan
Maaf semuanya kepada kalian
Kalau salah jangan mengejek

  • nama pohon untuk pelindung tanaman kopi
Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Lampung#Sastra_lisan

Bentuk-bentuk puisi lisan Lampung

Berdasarkan fungsinya, ada lima macam puisi dalam khasanah sastra tradisi lisan Lampung:

1. Paradinei/paghadini

Paradinei/paghadini adalah puisi tradisi Lampung yang biasa digunakan dalam upacara penyambutan tamu pada saat berlangsungnya pesta pernikahan secara adat. Paradinei/paghadini diucapkan jurubicara masing-masing pihak, baik pihak yang datang maupun yang didatangi. Secara umum, isi paradinei/paghadini berupa tanya jawab tentang maksud atau tujuan kedatangan.

Contoh:

Jak banding sikam jinna
Lupa mak singgah jondong
Kubimbing niku jinna
Mukhawan niku khatong

Mawat kutattak lada
kammak jukuk ni lamon
Mawat kubuka cawa
kammak cawa sai temmon

Si gisting nangun mikhing
jalan berliku liku
Najin dunia giccing
bacak sapai di niku
[sunting] Pepaccur/pepaccogh/wawancan

2. Pepaccur/pepaccogh/wawancan
Pepaccur/pepaccogh/wawancan adalah puisi tradisi Lampung yang berisi nasihat atau pesan-pesan setelah pemberian adok (gelar adat) kepada bujang-gadis sebagai penghormatan/tanda telah berumah tangga dalam pesta pernikahan. Pemberian adok (gelar adat) dilakukan dalam upacara adat yang dikenal dengan istilah butetah atau istilah lainnnya, ngamai dan nginai adek, ngamai ghik ngini adok, dan kabaghan adok atau nguwaghko adok.
[sunting] Pattun/Segata/Adi-Adi

3. Pantun/segata/adi-adi
Pantun/segata/adi-adi adalah salah satu jenis puisi tradisi Lampung yang lazim di kalangan etnik lampung digunakan dalam acara-acara yang sifatnya bersukaria, misalnya pengisi acara muda mudi nyambai, miyah damagh, kedayek.

4. Bebandung

Bubandung adalah puisi tradisi Lampung yang berisi pertuah-petuah atau ajaran yang berkenaan dengan agama Islam.
[sunting] Ringget/Pisaan

5. Ringget/pisaan
Ringget/pisaan/dadi/highing-highing/wayak/ngehahaddo/hahiwang adalah puisi tradisi Lampung yang lazim digunakan sebagai pengantar acara adat, pelengkap acara pelepasan pengantin wanita ke tempat pengantin pria, pelengkap acara tarian adat (cangget), pelengkap acara muda-mudi (nyambai, miyah damagh, atau kedayek), senandung saat meninabobokan anak, dan pengisi waktu bersantai.

sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Lampung#Sastra_lisan

Sastra Lampung

Sastra Lampung adalah sastra yang menggunakan bahasa Lampung sebagai media kreasi, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Sastra Lampung memiliki kedekatan dengan tradisi Melayu yang kuat dengan pepatah-petitih, mantera, pantun, syair, dan cerita rakyat.

Jenis sastra lisan Lampung menurut A. Effendi Sanusi (1996) membagi lima jenis sastra tradisi lisan Lampung yaitu :
1. Sesikun/sekiman (peribahasa)
Sesikun/sekiman adalah bahasa yang memiliki arti kiasan atau semua berbahasa kias. Fungsinya sebagai alat pemberi nasihat, motivasi, sindiran, celaaan, sanjungan, perbandingan atau pemanis dalam bahasa.

2. Seganing/teteduhan (teka-teki)
Seganing/teteduhan adalah soal yang dikemukakan secara samar-samar, biasanya untuk permainan atau untuk pengasah pikiran.

3. Memmang (mantra)
Memmang adalah perkataan atau ucapan yang dapat mendatangkan daya gaib: dapat menyembuhkan, dapat mendatangkan celaka, dan sebagainya.

4. Warahan (cerita rakyat)
Warahan adalah suatu cerita yang pada dasarnya disampaikan secara lisan; bisa berbentuk epos, sage, fabel, legenda, mite maupun semata-mata fiksi.

5. Puisi
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan seseorang secara imajinatif dan disusun dengan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasikan struktur fisik dan struktur batin.

Sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Lampung#Sastra_lisan

Bahasa Lampung

Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Provinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten.
Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan dengan ini masih dekat berkerabat dengan bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Melayu dan sebagainya.

Aksara Lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.

Artinya Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.

Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek.
Pertama, subdialek A (api) yang dipakai oleh ulun Melinting-Maringgai, Pesisir Rajabasa, Pesisir Teluk, Pesisir Semaka, Pesisir Krui, Belalau dan Ranau, Komering, dan Kayu Agung (yang beradat Lampung Peminggir/Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung Pepadun).
Kedua, subdialek o (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Menggala/Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun).
Dr Van Royen mengklasifikasikan Bahasa Lampung dalam Dua Sub Dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.

A. Dialek Belalau (Dialek Api), terbagi menjadi:
1. Bahasa Lampung Logat Belalau dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomisili di Kabupaten Lampung Barat yaitu Kecamatan Balik Bukit, Batu Brak, Belalau, Suoh, Sukau, Ranau, Sekincau, Gedung Surian, Way Tenong dan Sumber Jaya. Kabupaten Lampung Selatan di Kecamatan Kalianda, Penengahan, Palas, Pedada, Katibung, Way Lima, Padangcermin, Kedondong dan Gedongtataan. Kabupaten Tanggamus di Kecamatan Kotaagung, Semaka, Talangpadang, Pagelaran, Pardasuka, Hulu Semuong, Cukuhbalak dan Pulau Panggung. Kota Bandar Lampung di Teluk Betung Barat, Teluk Betung Selatan, Teluk Betung Utara, Panjang, Kemiling dan Raja Basa. Banten di di Cikoneng, Bojong, Salatuhur dan Tegal dalam Kecamatan Anyer, Serang.
2. Bahasa Lampung Logat Krui dipertuturkan oleh Etnis Lampung di Pesisir Barat Lampung Barat yaitu Kecamatan Pesisir Tengah, Pesisir Utara, Pesisir Selatan, Karya Penggawa, Lemong, Bengkunat dan Ngaras.
3. Bahasa Lampung Logat Melinting dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Timur di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kecamatan Jabung, Kecamatan Pugung dan Kecamatan Way Jepara.
4. Bahasa Lampung Logat Way Kanan dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Way Kanan yakni di Kecamatan Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga dan Pakuan Ratu.
5. Bahasa Lampung Logat Pubian dipertuturkan oleh Etnis Lampung yang berdomosili di Kabupaten Lampung Selatan yaitu di Natar, Gedung Tataan dan Tegineneng. Lampung Tengah di Kecamatan Pubian dan Kecamatan Padangratu. Kota Bandar Lampung Kecamatan Kedaton, Sukarame dan Tanjung Karang Barat.
6. Bahasa Lampung Logat Sungkay dipertuturkan Etnis Lampung yang Berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Sungkay Selatan, Sungkai Utara dan Sungkay Jaya.
7. Bahasa Lampung Logat Jelema Daya atau Logat Komring dipertuturkan oleh Masyarakat Etnis Lampung yang berada di Muara Dua, Martapura, Komring, Tanjung Raja dan Kayuagung di Provinsi Sumatera Selatan.

B. Dialek Abung (Dialek Nyow), terbagi menjadi:
1. Bahasa Lampung Logat Abung Dipertuturkan Etnis Lampung yang yang berdomisili di Kabupaten Lampung Utara meliputi Kecamatan Kotabumi, Abung Barat, Abung Timur dan Abung Selatan. Lampung Tengah di Kecamatan Gunung Sugih, Punggur, Terbanggi Besar, Seputih Raman, Seputih Banyak, Seputih Mataram dan Rumbia. Lampung Timur di Kecamatan Sukadana, Metro Kibang, Batanghari, Sekampung dan Way Jepara. Kota Metro di Kecamatan Metro Raya dan Bantul. Kota Bandar Lampung di Gedongmeneng dan Labuhan Ratu.
2. Bahasa Lampung Logat Menggala Dipertuturkan Masyarakat Etnis Lampung yang bertempat tinggal di Kabupaten Tulang Bawang meliputi Kecamatan Menggala, Tulang Bawang Udik, Tulang Bawang Tengah, Gunung Terang dan Gedung Aji.

sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Lampung

Sekilas Tentang Seni Dan Tradisi

Bangsa Lampung memiliki ragam kesenian yang kaya akan keragaman, keindahan dan keanggunan budaya. Tarian yang dibawakan oleh Muli Meghanai Lampung memiliki ciri khas gerak serta langgam tersendiri. Tarian klasik yang diselenggarakan pada saat upacara kerajaan adalah suatu bentuk tarian yang dikenal dengan nama Tarakot Kataki atau Lalayang Kasiwan yang masing masing diperagakan oleh dua belas Meghanai secara bersama sama sebagian memegang kipas dan sebagian lagi tidak memegang kipas.

Ragam tarian lain adalah Tari Tanggai yang ditampilkan oleh satu, dua, atau empat orang Muli yang masing masing memegang kipas. Didalam membawakan Tari Tanggai para Muli ini menggunakan aksesoris berupa kuku kuku panjang yang terbuat dari perak yang dipasang diujung jari para penari. Tari tersebut diiringi oleh irama Gamulan/Kulintang dengan ditingkahi para Meghanai yang membawakan bait tertentu yang dinamakan Ngadidang.

Dalam sepuluh hari didalam bulan Syawal diadakan Sekuraan yaitu Festival Topeng yang diselenggarakan sebagai ungkapan suka cita setelah sebulan penuh berpuasa dan mendapatkan Hari Kemenangan. Sekuraan ini diadakan dibeberapa Pekon di Sekala Brak dengan berbagai suguhan Kesenian seperti Silek, Muwayak, Hadra, dan Nyambai oleh para Sekura.

Ada dua tipe Sekura yaitu Sekura Helau yang melambangkan kebajikan dan kebijaksanaan dan Sekura Kamak yang melambangkan Ketamakan dan Keangkaramurkaan. Sekura Helau mengenakan kostum yang indah dan bagus seperti bawahan yang mengenakan kain yang bermotifkan Tapis dan atasan yang mengenakan Kain Panjang, sedangkan Sekura Kamak mengenakan Topeng yang menyeramkan dan kostum yang kebanyakan berwarna hitam hitam.

Setiap sehari sebelum Idul Fitri dan Idul Adha ada tradisi Ngelemang pada Paksi Paksi di Sekala Brak terutama di Paksi Buay Bejalan Di Way, ada beberapa jenis Lemang seperti Lemang Siwok yang terbuat dari ketan, Lemang Bungking yang terbuat dari ketan–pisang, dan Lemang Ceghughut yang terbuat dari ketan–gula merah. Tradisi ini sebenarnya adalah tradisi lanjutan seperti yang berlaku di daerah Minangkabau.

Bangsa Lampung dikenal memiliki kain tenun yang indah dan anggun yang dikenal dengan Kain Tapis. Tapis adalah kain yang agung dan sakral yang pada mulanya hanya dikenakan oleh Para Saibatin dan keluarganya saja terutama dikenakan dalam Gawi dan Upacara adat. Namun dalam perkembangannya Kain Tapis telah diproduksi secara massal sehingga setiap khalayak dapat berkesempatan untuk memiliki dan mengenakannya.

Saat ini Kain Tapis telah dikomersialkan dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan telah melanglangbuana hingga ke mancanegara. Kini Kain Tapis telah mengalami perkembangannya hingga semakin variatif dengan berbagai macam bentuk dan telah merambah dunia fasion seperti pakaian dan aksesoris aksesoris yang bermotifkan Tapis.

sumber http://id.wikipedia.org/wiki/Sekala_Brak